Jumat, 28 September 2012

Ratna Sarumpaet - Marsinah Menggugat (Monolog)


ALAM DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH PERKUBURAN.


MARSINAH SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN, SEORANG BURUH KECIL DARI SEBUAH PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA TIMUR, TANGGAL 9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH, DI HUTAN JATI DI MADIUN. DARI HASIL PEMERIKSAAN  OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN PEREMPUAN MALANG INI DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN DENGAN MENGGUNAKAN BENDA TAJAM. KASUS KEMATIAN PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN YANG TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI PADA SAAT BERSAMAAN BERBAGAI PELECEHAN JUGA TERJADI DALAM PROSES MENGUNGKAP SIAPA PEMBUNUHNYA. SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN APA-APA, KASUS  UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP PANJANG, DAN SEKARANG, SETELAH  MARSINAH SEBENARNYA SUDAH MENGIKHLASKAN KEMATIANNYA MENJADI KEMATIAN YANG SIA-SIA, TIBA-TIBA SAJA KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL ITU MARSINAH SANGAT TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK MENENGOK SEBENTAR KE ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA, PADA SEBUAH ACARA PELUNCURAN SEBUAH BUKU YANG DI TULIS BERDASARKAN KEMATIANNYA. INILAH UNTUK PERTAMA KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN. KAWAN-KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR TAMPAKNYA KEBERATAN. DAN DARI SITULAH MONOLOG INI DIMULAI.

ADA SUARA-SUARA MALAM. PERTUNJUKAN INI TERJADI DI SEBUAH PERKUBURAN. MARSINAH TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH BALE, GELISAH. DIA TERTEKAN, RAGU AKAN KEPUTUSAN YANG DIBUATNYA.

Kalau saja dalam kesunyian mencekam yang dirasuki hantu- hantu ini aku dapat merasakan kesunyian yang sebenar-benarnya  sunyi.  Kalau saja dalam kesunyian ini aku dapat menutup telingaku dari pekik mengerikan, raung dari rasa lapar, derita yang tak habis-habis. Kalau saja sesaat saja aku diberi kesempatan merasakan betapa diriku adalah milikku sendiri....

DIKEJAUHAN, TERDENGAR SUARA ORANG-ORANG YANG SEDANG MEMBACAKAN AYAT-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA TERASA SEMAKIN DEKAT DAN SEMAKIN MENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT PERLAHAN, MURUNG.

Apa gerangan kata Ayahku tentang waktu yang seperti ini.... Kejam rasanya seorang diri, diliputi amarah dan rasa benci. Tersekap rasa takut yang tak putus-putus menghimpit..... Ketakutan yang tak bisa diapa-apakan..... Tidak bisa bunuh, atau dilawan.....

MARSINAH SEPERTI MENDENGAR SUARA-SUARA DARI MASA LALUNYA, SUARA-SUARA DERAP SEPATU, YANG MEMBUATNYA GUSAR.

Suara-suara itu.... Dia datang lagi.... Seperti derap kaki seribu serigala menggetar bumi....

Mereka datang menghadang ke damaiku..... Mereka mengikuti terus..... Bahkan sampai ke liang kubur ini mereka mengikutiku terus....

Kalau betul maut adalah tempat menemu kedamaian..... Kenapa aku masih seperti ini?

Terhimpit di tengah pertarungan-pertarrungan lama....  Kenapa pedih dari luka lamaku masih terasa menggerogoti hati dan perasaanku...... Kenapa amarah dan kecewaku masih seperti kobaran api, membakarku?

TERDENGAR SUARA SESEORANG NEMBANG, LIRIH..... TEMBANG ITU SESAAT SEOLAH MENGENDURKAN KETEGANGAN MARSINAH. DIA BICARA, LIRIH.

Dengan berbagai cara nek Poeirah, nenekku, mengajarkan kepadaku tentang kepasrahan.....  Dia mengajarkan kepadaku bagaimana menjadi anak yang menerima dan pasrah......  Pasrah itu yang kemudian menjadi kekuatanku..... Yang membuatku selalu tersenyum menghadapi kepahitan yang bagaimanapun. Kemiskinan keluargaku yang melilit...... Pendidikanku yang harus terputus di tengah jalan.....

Perempuan ini jugalah yang mengajarkan kepadaku betapa hidup membutuhkan kegigihan...... Tapi kegigihan seperti apa yang bisa kuberikan sekarang...... Pada saat mana aku sudah menjadi arwah seperti ini, dan mereka masih mengikutiku terus?

Sulit mungkin membayangkan bagaimana dulu kemiskinan melilit keluargaku...... Bagaimana setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling menjajakan kue bikinan Nenekku, demi seratus duaratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-anak sebayaku. Kebahagiaan masa kecilku hilang...... Tapi aku ikhlas...... Karena dengan uang itu aku bisa menyewa sebuah buku dan membacanya sepuas-puasnya.

Berupaya meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan..... Merindukan kehidupan yang lebih layak.... Berlebihankah itu? Memiliki cita-cita..... Memiliki harapan-harapan..... Berlebihankah itu?

Lalu kenapa cita-citalah yang akhirnya memperkenalkanku pada arti kemiskinan yang sesungguhnya. Kenapa harapan-harapanku justru menyeretku berhadapan dengan ketidakberdayaan yang tak terelakan?

DERAP SEPATU DARI MASA LALU ITU KEMBALI MENGGEMURUH MEMBUAT MARSINAH KEMBALI TEGANG.

Itulah kali teakhir aku datang ke Nganjuk. Ketika Nenekku, tidak seperti biasanya, berkeras menahanku. Dia bicara banyak tentang firasat. Aku tahu dia membaca kegelisahanku...... Tapi aku terlalu gusar untuk menggubris nasehat-nasehatnya..... Dan sampai akhirnya aku meningggalkan Nganjuk, aku tidak pernah menjelaskan kepadanya, kenapa saat itu Sidoarjo    menjadi begitu penting untukku.....

MARSINAH MENDADAK SEDIH LUAR BIASA.

Apa yang harus kukatakan? Apa yang dimengerti perempuan tua itu tentang hak bicara? Tentang pentingnya memperjuangkan hak? Dia hanya mengerti turun ke sawah sebelum matahari terbit, dan meninggalkannya setelah matahari terbenam, karena perut tiga orang cucu  yang diasuhnya harus selalu terisi.

MARSINAH MULAI GUSAR HALUS, SUARA-SUARA DI MASA LALUNYA DULU MULAI MENGIANG DI TELINGANYA.

Barangkali kalian menganggap apa yang kulakukan ini tidak masuk akal..... Barangkali kalian menganggapnya perbuatan sinting.... Tapi aku harus pergi...... Dengan atau tanpa kalian, aku akan pergi.....

Setelah empat tahun lebih aku merasa mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali mengungkit-ungkit kematianku. Kematian Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah tidak ada hubungannya dengan pemogokan buruh. Kematian Marsinah berlatar belakang balas dendam. Dan hari ini, sebuah buku yang ditulis atas kematianku, diluncurkan. Gila!

Aku? Siapa aku? Seorang perempuan miskin yang di masa hidupnya tidak punya kemampuan membeli sebuah buku pun untuk dibaca atau dibanggakan.....

Apa yang mereka inginkan dariku? Mereka menggali tulang-tulangku. Dua kali mereka membongkar kuburanku, juga untuk sia-sia, terkontaminasi..... Bangsat!

Ini mungkin bagian yang paling aku benci. Mereka selalu menganggap semua orang bodoh.  Mereka selalu menganggap semua orang bisa dibodohi.

HENING LAGI.....

Tapi itulah mungkin betapa aku, kita-kita ini, sesungguhnya adalah orang-orang pilihan.   Orang-orang yang dipilih untuk sebuah rencana besar, dan sekaranglah saatnya. Pada saat kita sudah tidak eksis. Pada saat kita sudah tidak mungkin dibunuh karena kita toh sudah terbunuh. Mereka boleh dongkol atau mengamuk sekalian  mendengar apa yang kita ucapkan. Tapi menggebuk kita?  Masa arwah mau digebuk juga?

SUARA -SUARA MASA LALU ITU KEMBALI TERDENGAR. BEBERAPA SAAT MARSINAH TAMPAK TEGANG DAN TERGANGGU, TAPI DIA MELAWANNYA. MELANGKAH SATU-SATU, IA MENENGADAHKAN MUKANYA, BICARA PADA SUARA-SUARA YANG MENGGANGGUNYA ITU.

Suara-suara itu....  Mereka mengikutiku terus..... Aku tahu mereka akan menggangguku lagi.   Aku tahu mereka akan terus menggangguku. Aku tidak takut dan aku tidak akan berhenti.....  Aku akan berdiri di tengah peluncuran buku itu, dan aku akan menghadapi mereka di sana.

Algojo-algojoku..... Orang-orang yang dulu begitu bernafsu menghabisi hidupku. Berbaur dengan mereka yang dengan gigih telah berusaha menegakan keadilan atas kematianku. Lalu aku akan menikmati bagaimana mereka satu demi satu berpaling menghindari tatapanku, atau menundukkan kepala; atau lari lintang pukang dikejar dosanya sendiri. Dan sebuah peluncuran buku yang lazimnya dipenuhi tawa, tepuk tangan dan sanjungan itu akan berubah menjadi sebuah  upacara mencekam, Marsinah, muncul menggugat. Belati berlumur darah itu muncul di depan matamu, setelah sekian lama kau mengira, kau telah berhasil  melenyapkannya dari tuntutan keadilan.

KETIKA SUARA-SUARA DI MASA LALU ITU MEREDA, MARSINAH JUSTRU TAMPAK SEMAKIN MURUNG DAN GUSAR. IA MENJATUHKAN TUBUHNYA DI LANTAI, LETIH. IA BICARA SEPERTI PADA DIRINYA SENDIRI.

Aku melihat begitu banyak tangan berlumuran darah.... Aku melihat bagaimana keserakahan boleh terus berlangsung, para pemilik modal boleh terus mengeruk keuntungan, para manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama di atas setiap tetes keringatku. Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka mulutnya menuntut kenaikan upah?   Nyawanya akan terenggut.

Dan sekarang lihat bagaimana mereka menjadikan kematianku bagai jembatan emas demi kemanusiaan; Demi ditegakkannya keadilan; Demi perbaikan nasib buruh.

MARSINAH TERTAWA, GETIR.

Memperbaiki nasib buruh.... Dari 1500 menjadi 1700, dari 1700 menjadi 1900.... Satu gelas teh manis di pagi hari, satu mangkok bakso di siang hari, lalu satu mangkok lainnya di malam hari. Itu takaran mereka tentang kebahagiaan seorang buruh, yang dituntut untuk memberikan seluruh tenaga dan pikirannya, tanpa boleh mengeluh.

Mereka bermain di antara angka-angka. Mereka tidak pernah mempertimbangkan apakah sejumlah angka mampu memanusiakan seorang buruh. Dan mereka menepuk dada karena itu.

Memperbaiki nasib buruh.... Mana mungkin kematian seorang buruh kecil seperti diriku mampu  memanusiakan buruh di tengah sebuah bangsa yang sakit?

SUARA DARI MASA LALU ITU KEMBALI MENGHENTAK, MENGEJUTKAN MARSINAH. TAPI DIA TIDAK TAKUT.

Aku tidak takut. Aku tidak takut. (KE KAWAN-KAWANNYA) Aku tidak takut. (KE SUARA-SUARA) Aku bisa mempertanggungjawabkan semua itu..... Masa hidupku yang terhempas-hempas yang terus-menerus dihantui rasa takut bisa mempertanggungjawabkan semua itu. Kematianku yang menyakitkan. Tulang-tulangku yang remuk; darahku yang berceceran membasahi tumit kalian.... Bisa mempertanggungjawabkan semua itu.

Bangsa yang bagaimana yang kalian harapkan aku menyebutnya? Aku mengais-ngais mencari sesuap nasi di sana. Sambil terus-menerus tersandung-sandung, dikejar-kejar gertakan dan ancaman-ancaman kalian.

Aku disiksa di sana..... Aku diperkosa di sana, dibunuh dengan keji..... Begitu kalian telah mematikanku. Begitu kalian merenggut seluruh hak hidupku...... Bangsa yang bagaimana kalian pikir aku menyebutnya? Bangsa yang bagaimana?

KETIKA SUARA DARI MASA LALU ITU MENGHILANG, MARSINAH LAGI-LAGI GUSAR. IA DUDUK SAMBIL MEMELUK KEDUA LUTUTNYA, SEPERTI MERINGKUK.

Apa sebenarnya yang sedang  kulakukan ini? Aku kembali mengorek luka itu.... Tuhan, ini menyakitkan. Tidak! Ini terlalu menyakitkan. Aku tidak akan melakukan ini. Tidak! Persetan dengan sebuah buku yang terbit. Persetan dengan calon-calon korban yang sekarang ini mungkin telah berdiri di tepi liang lahat dan segera akan menelannya. Aku arwah, dengan air mata yang tak habis-habis.... Arwah yang terus-menerus gusar digelayuti beban lama..... Apa yang bisa kulakukan? Tidak!

MARSINAH KEMBALI MENENGADAHKAN KEPALA, SEPERTI BICARA PADA SUARA-SUARA ITU.

Sampaikan pada mereka, Marsinah tidak akan datang! Marsinah yang lemah..... Yang lemah lembut.....  Perempuan miskin yang tak berdaya dan tidak tahu apa-apa..... Tidak! Dia tidak akan datang. Dia akan menunggu hingga peradilan agung itu tiba, dan dia akan berdiri di sana sebagai saksi utamanya.

SUASANA TIBA-TIBA BERUBAH, CAHAYA MENJADI MERUANG. MARSINAH BANGKIT HERAN. MARSINAH BERPUTAR MENGAMATI SEKELILINGNYA.

Aku di sini sekarang..... Sebuah ruangan yang megah..... Dan di sini, sekelompok manusia berkumpul.....

MARSINAH SURUT KE BALE, MENGAMBIL SELENDANGNYA.

Aku akan menghadapi ini dengan sebaik-baiknya.... Aku akan membuat mereka terperangah.   Aku akan mengecohkan mereka dari setiap sudut yang tidak mereka duga sama sekali.

MARSINAH BERGERAK KE HADAPAN HADIRIN, SAMBIL MENATAP SEKELILING.

Aku di sini sekarang.....

TATAPAN MARSINAH TERHENTI PADA SATU KELOMPOK HADIRIN.

Dan kalian.....  Aku mengenali betul siapa kalian..... Sebuah generasi, yang seharusnya ceria dan merdeka, duduk di sini dengan tatapan mengandung duka......

MARSINAH BERGERAK KE ARAH KELOMPOK ITU.

Demi Tuhan. Bagiku, kalian adalah fakta paling menyakitkan. Kemarahan kalian itu adalah kemarahanku dulu. Harapan dan cita-cita kalian itu adalah harapan dan cita-citaku dulu. Cita-cita yang terlalu sederhana sebenarnya untuk mengorbankan satu kehidupan. 

Satu saat, di tengah sebuah arak-arakan, aku menyaksikan kalian menengadahkan muka ke langit, marah..... Dengan mulut berbuih, kalian memekik menuntut perubahan Setiap kali aku melihat kalian meronta seperti itu, perasaanku terguncang. Aku ingin sekali berkata, "Jangan!"

Aku adalah korban dari kemarahan seperti itu. Dan tidak satu pun dari kita bisa mengelak, kalau kematianku adalah lambang kematian kalian. Lambang kematian sebuah generasi. Kematian dari setiap cita-cita yang merindukan perubahan.

MARSINAH BERHENTI BEBERAPA SAAT SEPERTI SEDANG MENJERNIHKAN PIKIRANNYA. IA LALU MENATAP KE LANGIT, DAN MULAI BICARA.

Kalian mungkin tidak akan memahami ini... Tapi aku ya. Aku memahaminya betul.  Di dalam matiku aku telah melakukan perjalanan mundur. Sebuah penjelajahan berharga yang kemudian membuka mataku tentang berbagai hal.

Dari situ aku jadi tahu banyak..... Aku jadi tahu kalau dunia di mana dulu aku dilahirkan;  Dunia yang kemudian dengan dingin telah merenggut hak hidupku; adalah dunia yang sakit, sakit sesakit-sakitnya. Dunia di mana kebenaran-kebenaran dibungkus,  dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur dalam-dalam....

Di dunia seperti itulah aku dibungkam. Tidak cukup hanya dengan gertakan, dengan penganiayaan dan pemerkosaan yang dengan membabi buta telah mereka lakukan. Untuk yakin mulutku tidak lagi akan terbuka,  mereka mencabut nyawaku sekaligus.

Sekarang, apa yang harus kukatakan pada kalian? Aku tahu menolak adalah hak kalian. Hak paling azasi dari setiap umat. Tapi lihat, pelajaran apa sekarang yang kalian peroleh dari apa yang aku alami?

MARSINAH MENGAMBIL SEBUAH KORAN, LALU MEMBUKA-BUKANYA, SESAAT.

Kalian pasti tidak bisa membayangkan seberapa banyak kebenaran yang aku ketahui, yang seharusnya kalian ketahui karena sebagai warga masyarakat kalian berhak untuk itu. Aku tidak membaca apa-apa di sini. Berita yang kalian dapatkan hanya berita yang boleh kalian dapatkan, bukan yang berhak kalian dapatkan.

Itu sebab kalian baru heboh setelah kebakaran hutan merambat ke mana-mana dan mulai menelan korban. Sementara aku.....

Aku sudah mengetahui semua itu lama sebelum api pertama disulut. Aku tahu siapa yang menyulut api, dan aku tahu persis kenapa. Semua kalian heboh membicarakan kebakaran hutan. Semua kalian marah dan resah..... Koran-koran, seminar-seminar, pertunjukan-pertunjukan kesenian meradang membicarakan kebakaran hutan, seolah kebakaran hutan itu bencana yang datang begitu saja dari langit dan hanya mungkin ditangiskan pada Tuhan. Kehebohan yang tak bertenaga dan tak punya gigi.....

MARSINAH MEMBACA KORAN.

Pemulihan kondisi moneter akan terus diupayakan. Jangan aku dikultuskan..... Tapi bukan berarti aku menolak untuk dikultuskan..... Namun, renungkanlah..... Waou....

MARSINAH MELEMPAR KORAN ITU KASAR. TAPI TIBA-TIBA JADI TERPERANJAT ATAS ULAHNYA.

Sebentar! Apakah di ruangan ini ada intel atau aparat? Alhamdulillah..... Dan tolong dicatat baik-baik. Marsinah sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menggugat. Dia hanya takjub..... Rakyat mana yang sempat memikirkan pemulihan kondisi  moneter? Apa yang mampu mereka pikirkan dengan perut melilit? Mereka terseok-seok terancam kelaparan. Pikiran dan perasaan meraka tercekam mendengar ratusan orang mati karena kelaparan justru ditempatkan di mana uang sedang terus ditambang.

Di dunia seperti itulah kalian dilahirkan. Dunia di mana serigala-serigala berkeliaran mengejar nama dan kemuliaan, dan untuk itu kebodohan dan kelaparan kalian penting terus dipertahankan. Dunia di mana kemiskinan kalian dijadikan aset penting, demi lahirnya seorang Pahlawan,  Pahlawan Pengentasan Kemiskinan.

Di dunia seperti itulah kalian tumbuh sebagai generasi penerus. Dunia di mana di atas pundak kalian masa depan sebuah bangsa dipercayakan, sambil pada saat yang sama, ke dalam rongga hidung kalian serbuk yang mematikan akal sehat, terus menerus ditiupkan. Generasi tumbal.....

Generasi yang malang....

MARSINAH MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH LAIN.

Lalu kalian.... Entah apa yang aku katakan pada kalian? Terus terang, berhadapan dengan kalian adalah bagian yang paling aku takutkan. Lengan kananku biru kejang-kejang dicengkram dengan kasar oleh seorang satpam yang mencoba menjaili izin haidku dengan merogoh kasar celana dalamku. 

Berminggu-minggu si Kuneng, buruh di bawah usia itu dibelenggu rasa takut ketika satpam lain dengan kasar meremas susunya yang belum tumbuh, yang masih melekat di tulang rusuknya. Satpam-satpam itu sama melaratnya dengan kami. Sama menderitanya. Hanya karena mereka laki-laki dan punya pentungan..... Mereka merasa berhak ikut-ikutan melukai kami...... Ikut-ikutan memperlakukan kami bagai bulan-bulanan. Tapi bukan Subiyanto.

Bagi kami Subiyanto adalah kekecualian. Subiyantolah yang membawa Kuneng ke ahli jiwa, ketika perempuan itu satu saat betul-betul terguncang. Dia mencari pinjaman ke sana ke mari untuk itu. Bagi kami Subiyanto selalu menjadi pelindung.... Dan dia dituduh sebagai salah satu pembunuhku? Gila..... Lalat hinggap dimakan malamnya dia tidak akan mengusirnya.   Itulah Subiyanto.

MARSINAH MEMBUANG PANDANGANNYA, JAUH. SINIS.

Aku menyaksikan bagaimana Lembaga Peradilan berubah menjadi lembaga penganiayaan. Aku menyaksikan bagaimana saksi-saksi utama dibungkam, dilenyapkan..... Menyaksikan saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan.... Dan Subiyanto ada di sana..... Lelaki berhati lembut itu disiksa di sana. Dianiaya, ditelanjangi, disetrum kemaluannya, dan dipaksa mengakui telah ikut membunuhku. Mereka menciptakan cerita-cerita bohong; Mereka memfitnah; Mereka menghakimi orang-orang yang tidak pernah ada.

Kalian semua tahu itu bohong. Kalian tahu persis itu rekayasa. Aku tahu kalian akhirnya berhasil membebaskan Subiyanto dari rekayasa sinting itu. Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana mungkin nyawaku lepas begitu saja dari tubuhku tanpa seorang pelaku?

Apa yang akan kalian katakan tentang itu? Bahwa Hukum itu gagap? Bahwa Lembaga Peradilan itu gagap? Bahwa di atas meja, di mana mestinya ditegakkan di situlah, uang, darah dan peluru lebih dahulu saling melumuri? Demi Tuhan. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana kelak kalian akan mempertanggungjawabkan itu pada anak cucu kalian..... Lembaga Peradilan adalah harapan terakhir bagi orang-orang kecil seperti kami. Satu-satunya tempat yang seharusnya memberikan pada kami perlindungan.

Tapi apa yang kami dapatkan? Apa yang kami dapatkan?

MARSINAH TIBA-TIBA BERHENTI, MENGALIHKAN TATAPANNYA KE ARAH LAIN.

Nanti dulu. Aku seperti menyaksikan sebuah pemandangan bagus.

MARSINAH MENGAMBIL TEROPONG DARI MEJA PERLENGKAPANNYA, UNTUK BISA MELIHAT DENGAN JELAS.

Bukankah bapak yang duduk di pojok itu adalah seorang anggota DPR? Atau..... Jangan-jangan, beliau ini adalah anggota DPR dari Partai terlarang itu? Hm.... Lagi-lagi Kuneng.... Lagi-lagi perempuan malang itu mengingatkanku betapa menyakitkannya menjadi orang tak berdaya. Satu tahun Kuneng berhasil menunda pengosongan kampung Ijo itu. Kampung di mana Orangtuanya memiliki sepetak kecil tanah yang dibeli dengan cara cicilan.

Bulak-balik Kuneng ke kantor DPR. Dia yakin betul para wakil Rakyat itu mampu membelanya memperoleh ganti rugi yang lebih layak. Satu hari, sepulang kerja, Kuneng terperangah kecewa. Kampung Ijo itu sudah rata digilas traktor. Kuneng akhirnya mati gantung diri. Dan sampai akhir hayatnya dia tidak pernah memahami permainan apa sebenarnya yang terjadi di atas semua perkara itu.

Sejak itu, setiap kali gedung raksasa di Jakarta itu disorot dilayar kaca, hatiku geram. Katanya gedung itu gedung rakyat. Katanya di gedung itu nasib rakyat dibela. Tapi apa yang menimpa Kuneng, bagiku cukup untuk tidak percaya pada apapun yang terdapat di gedung itu. Katakanlah nasib kami sebagai buruh tidak ada dalam catatan. Tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat yang membutuhkan pembelaan.....

Tapi aku menyaksikan bagaimana harkat orang-orang dirampas, menyaksikan rumah-rumah digusur; Ibu-ibu menangis, anak-anak kucar-kacir kebingungan..... Aku bahkan menyaksikan bagaimana popor senapan mengamuk merenggut nyawa dan harga diri. Dan gedung raksasa itu tidak berbuat apa-apa selain bungkam.

Dan bapak.... Bapak duduk di sini, di tengah peluncuran sebuah buku yang ditulis atas kematian seorang buruh kecil, karena ketidakmampuan kalian membela nasibnya. Demi Tuhan.... Aku ingin sekali tahu, apakah kesadaran Bapak hadir di sini merupakan hasil proyek pembekalan yang menghebohkan itu?

MARSINAH MENINGGALKAN PAK DPR, BICARA PADA HADIRIN.

Kalian lihat itu? Bungkam. Apa aku bilang? Wakil rakyat itu, mestinya dibekali Rakyat, bukan sebaliknya.

DERAP SEPATU ITU KEMBALI TERDENGAR. MARSINAH SADAR DIA SUDAH HARUS MENYELESAIKAN TUGASNYA. IA SURUT PERLAHAN. MENDADAK TATAPANNYA BERUBAH, GELAP, GERAM.

Sebuah buku ditulis atas kematianku.... Lalu diluncurkan.... Lalu kalian semua hadir di sini menunjukan keprihatinan. Keprihatinan apa? Kalau ada yang berhak untuk prihatin di sini, aku. Akulah perempuan malang itu.... Aku Marsinah....

Demi Tuhan, aku ingin sekali bertanya, "Apa sebenarnya yang kalian pikir telah kalian perbuat untukku?" Penghargaan-penghargaan itu?  Buku yang diterbitkan itu? Atau jerih payah yang kalian berikan untuk menjadikanku seorang Pahlawan? Aku tidak pernah bercita-cita jadi Pahlawan.

MARSINAH TERSENDAT OLEH KEMARAHAN YANG MENDADAK MENDESAKNYA.

Aku nyawa yang tersumbat..... Aku kehidupan yang dihentikan dengan keji hanya karena aku mengira aku punya hak untuk mengatakan tidak.... Hanya karena mengira aku berhak untuk punya harapan, berhak punya jiwa dan raga.....

Memperjuangkan sesuap nasi untuk tidak terlalu lapar. Memperjuangkan sedikit tambahan uang untuk meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan. Aku menyaksikan kawan-kawanku di PHK di bawah ancaman moncong senjata. Dan aku mencoba membelanya..... Aku hanya mencoba membelanya.... Dan karena itulah aku dianggap berbahaya dan layak untuk dibunuh.

Kalian tahu apa sebenarnya yang paling menyakitkan dari semua itu?  Kalian membiarkan dan menerimanya sebagai kebenaran..... Kebenaran sinting..... Kebenaran yang tidak bisa disentuh atau diapa-apakan.....

Kekuatan apa kira-kira yang mampu meremukkan tulang kemaluan seorang perempuan hingga merobek dinding rahimnya, kalau bukan kebiadaban?

SUARA-SUARA MASA LALU ITU KEMBALI MENYERGAP MARSINAH. IA TIBA-TIBA PANIK, SEOLAH SELURUH PENGALAMAN PAHIT DI MASA LALU ITU MENDADAK KEMBALI KE DALAM TUBUHNYA. IA BERPUTAR....

Aku ingat betul bagaimana rasa takut itu menyergapku, ketika tangan-tangan kasar tiba-tiba mengepungku dari belakang, mengikat mataku dengan kain, kencang, lalu mendorongku masuk ke sebuah mobil, yang segera meluncur, entah ke arah mana.....  Tidak ada suara..... Aku tidak tahu seberapa jauh aku dibawa..... Tapi aku ingat betul ketika mobil itu berhenti, aku didorong keluar kasar sekali. Aku diseret, asal.....  Aku tidak ingat seberapa jauh aku diseret-seret seperti itu. Aku hanya ingat tubuhku menggigil keras didera oleh rasa takut yang dahsyat.

Aku kemudian mendengar sebuah pintu dibuka tepat di hadapanku. Aku tidak tahu apakah kepalaku membentur tembok atau sebuah pentungan telah dipukulkan kekeningku. Aku hanya tahu aku tersungkur di lantai..... Ketika aku mencoba bergerak, beberapa kaki bersepatu berat dengan sigap menahanku, menginjak kedua tulang keringku, perutku, dadaku, kedua tanganku....

Kata-kata kotor berhamburan memaki, mengikuti setiap siksaan yang kemudian menyusul. Aku tidak tahu berapa kali tubuhku diangkat, lalu dibanting keras. Diangkat lagi, lalu dibanting lagi....  Ke lantai..... Ke sudut meja....Ke kursi.... Sampai akhirnya aku betul-betul tak berdaya.....

Kebiadaban itu tidak mengenal kata puas..... Aku bahkan sudah tidak bisa menggerakkan ujung tanganku ketika dengan membabi buta, mereka menggerayangi seluruh tubuhku.

MARSINAH KEMBALI TERSENDAT, GUGUP.

Tuhan! Hentikan ini..... Aku merintih dalam bathinku..... Aku meronta. Aku terus meronta.....   Aku berteriak-teriak sekuat tenaga meski aku tahu suaraku tidak akan terdengar. Suaraku bertarung melawan kain yang disumpal di mulutku. Mulut dan rahangku seakan terkoyak. Aku terus melawan..... Terus..... Sampai aku akhirnya kehabisan semuanya..... Suaraku.... Tenagaku..... Semua.....

Aku biarkan mereka melahapku sepuas-puasnya. Aku biarkan tulang-tulangku diremuk-remukkan.

Dan.....

MARSINAH TERSENDAT LAGI. TUBUHNYA BERGETAR KERAS.

Dan sebuah benda, besar, tajam, keras..... Yang aku tidak mampu membayangkan, apa....

Dihunjamkan menembus tulang kemaluanku.....

MARSINAH MENJATUHKAN TUBUHNYA. IA BERGERAK SETENGAH MERAYAP.

Tuhan, kenapa? Kenapa aku? Aku ingin sekali menangis, tapi aku tidak mampu. Aku terlalu remuk bahkan untuk meneteskan setetes air mata pun. Darah..... Aku melihat darah di mana-mana. Darah itu menghitam dan kotor..... Kotor sekali..... Dia melumuri perutku..... Melumuri kedua pahaku bagian dalam. Berceceran di lantai; belepotan dipintu, dikaki meja..... Di mana-mana.....   Itulah saat-saat paling akhir aku bisa merasakan sesuatu. Sesuatu yang terlalu menyakitkan.  Sesuatu yang menakutkannya.....  Yang kebiadabannya..... Demi Tuhan, tidak layak dialami siapapun.....

Aku merasa hina...... Aku merasa kotor..... Dan aku sendirian.....Aku betul-betul sendirian......

Aku berusaha mengangkat tubuhku mencari...... Entah apa..... Entah siapa yang kucari?  Nenekku Poerah dan adik-adikku? Ayahku.... Kawan-kawanku? Di mana kawan-kawanku?   Di mana kalian waktu itu?

Tuhan, kenapa... Kenapa kau biarkan kebiadaban merobek-robek kesucianku? Kenapa kau biarkan ketidakadilan menggerayangi harkat dan kehormatanku? Kau ajarkan kepadaku tentang cinta..... Tapi kau biarkan buasnya keserakahan merampas hakku memilikinya...... Kau beri aku rahim...... Kau janjikan kepadaku tentang mukjizat-mukjizatnya..... Tapi kenapa kau biarkan ia remuk oleh kekuasaan yang menakutkan. Kenapa?  Kenapa?

DENGAN SANGAT BERAT MARSINAH BANGKIT. DIA BERGERAK SEMPOYONGAN SEOLAH IA BARU SAJA DIPERKOSA.

Aku mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa, lalu mencoba berzikir..... Tapi ketika aku hendak membuka mulutku memanggil asmanya.... Tuhan.... Mulutku terasa kelu... Aku merasa tidak layak..... Aku merasa terlalu kotor..... Kotor sekali......

Aku lalu mulai menghitung.... Satu, dua, sepuluh, seratus...... Terus..... Aku terus menghitung.... Enam ribu. Tujuh ribu. Sepuluh ribu...... Aku ingin sekali dapat melupakan ketakutanku. Aku ingin sekali dapat membunuh perasaan jijik yang menyerangku, tapi aku tidak berhasil...... Dalam keadaan remuk, aku berusaha keras untuk bangkit, lalu mulai berputar......

MARSINAH MULAI MEMUTAR TUBUHNYA, PELAN, SAMPAI MENJADI KENCANG.

Aku berputar...... Aku terus berputar..... Berputar..... Berputar...... Berputar....

MARSINAH TERSUNGKUR JATUH, HENING. TERDENGAR SUARA MEMBACAKAN LA ILLAH HA ILLALLAH (KOOR)
Aku rayakan kegilaanku pada penderitaanku yang tak tertahankan.... Aku pertontonkan dalam pesta dosa dan kenistaan..... Aku nyalakan bara dalam dadaku..... Aku biarkan asapnya mengepul dari setiap pori-poriku..... Api mengaliri pembuluh darahku..... Api napas di dalam paru-paruku.....  Seluruh diriku hangus, terbakar oleh kebencianku pada ketidakadilan.....

CAHAYA VERTIKAL MENIMPA KERAS TUBUH MARSINAH. MARSINAH MENGULURKAN TANGANNYA DAN MERAUP TANAH DI SEKITARNYA KE DALAM GENGGAMAN, BICARA LIRIH. DI KEJAUHAN, SESEORANG MEMBACAKAN "Yaa ayyatuhan nafsul...."

Tanah..... Tanah ini....   Tanah yang dulu memberiku kehidupan dan harapan, kini menyatu dengan daging dan tulang-tulangku. Kini, aku adalah tanah dan debu sekaligus.

MARSINAH MERAYAP UNTUK MENCAPAI BALE DAN MULAI BICARA LEBIH JERNIH.

Aku akan pergi sekarang..... Aku harus pergi......

CAHAYA PADA MARSINAH DISSOVE DENGAN CAHAYA PADA SEBUAH LAYAR DI MANA WAJAH MARSINAH YANG SESUNGGUHNYA TERPAMPANG.

Demi Tuhan.... Tidak ada sebenarnya yang aneh dari apa yang menimpa diriku, atau yang menimpa ribuan bahkan jutaan manusia lain yang senasib denganku. Kami adalah anak-anak bangsa ini. Sebuah bangsa yang korup..... Sebuah bangsa, di mana kekuasaan adalah segalanya.  Sebuah bangsa di mana apapun halal, demi kekuasaan.

Namun, kepadamu semua aku ingin mengingatkan! Kalian telah membiarkan kehidupanku terenggut. Jangan kalian biarkan ia terenggut sia-sia..... Menemukan siapa pembunuhku yang sesungguhnya, bagiku tidak lagi berarti apa-apa.

Namun, dengan sangat aku memohon, setidaknya, demi kawan-kawanku, "Temukanlah!!!....." Jauhkan mereka dari tangan-tangan kotor! Selamatkan mereka dari ketamakan orang-orang yang dengan pongah menganggap dirinya pemilik negeri ini.

Ketahuilah..... Menyelamatkan mereka, kalian telah menyelamatkan Negeri yang kalian cintai ini dari dosa dan kehancuran.......

TERDENGAR SUARA MEMBACAKAN TARHIM, CAHAYA PERLAHAN, FADE OUT.


27 September 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar